SAAT MATAHARI TENGGELAM




Andai kita berhak menduga atas apa yang dirasakan Matahari saat ia bersinar terik bagi bumi, mungkin kita akan suka menyebutnya sedang Marah. Bolehlah. Bukankah mentari tidak pernah menolak apapun bentuk penilaian kita terhadapnya? Kita kerap mengatakannya demikian karena rupanya begitulah panas yang ditimbulkan dari sorot mata kemarahan seorang manusia. Sinar mata merah yang dapat membakar segala hal, terutama emosi di dalam diri kita.
Maka mudah ditebak bahwa api kemarahan kita cepat menular dan menyentuh titik api emmosi orang lain, lalu menciptakan “kebakaran” hati yang meluas dengan cepat. Peristiwa kemarahan hati seorang manusia dapat menyuluh pertikaian antar kelompok orang, bahkan pada orang orang dewasa yang telah mengerti akan dampak buruk suatu kemarahan. Apa yang membuat kemarahan kecil itu cepat membesar?  Pemicunya tak lain adalah rasa kebersamaan yang diaplikasikan secara keliru oleh banyak orang dewasa. Mereka gemar untuk marah bersama sama.
Banyak orang menyadari bahwa api kecil dapat menjadi kawan yang memberi terang dan kehangatan. Sebaliknya, api besar bisa menjadi lawan yang menciptakan musibah yang memilukan. Faktanya, banyak kita jumpai orang orang menangis pilu karena kehilangan harta benda atau sanak keluarga akibat suatu kebakaran. Namun begitu, tidak banyak diantara kita tidak menyadari bahwa ada api kecil kemarahan di dalam diri yang juga berpotensi menimbulkan kehancuran yang serupa. Bahkan dapat menyisakan puing puing harta benda dan jasad sanak keluarga dan sahabat kita.
Semua orang mengetahui dan bisa simpati pada rasa kesedihan yang disisakan oleh api besar yang membakar seperti ini. Karenanya semua berusaha menyelamatkan diri. Kita bahkan berusaha menghindari kejadian serupa dengan mewaspadai dan mematikan api kecil kemarahan dalam diri, rupanaya kita melakukan hal serupa.
Renungkan apa yang telah dilakukan kebanyakan sahabat atau keluarga saat kita sedang dilanda api kemarahan. Hanya sedikit atau bahkan tidak ada yang mau berusaha memadamkannya dengan menenangkan hati kita. Mereka malahmengipasi dan menyirami dengan bahan baka berupa ego dan alas an yang memperkuat nyala api kemarahan. Mereka mendukung dengan ikut menjadikan dirinya kayu bakar yang rela terbakar hangus bersama api kemarahan kita. Mereka merelakan diri menjadi “pahlawan” yang membela mati matian kemarahan yang kita rasakan. Tanpa disadari, sesungguhnya mereka ikut mengantar kita pada kehancuran. Bukankah demikian dampak api kemarahan? Menariknya kita setuju dan senang digiring pada kehancuran itu.
Jika api dapat menjadi cahaya penerang, kenapa api kecil kemarahan justru membawa kegelapan? Karena terang dan panasnya seperti cahaya matahari yang secara tiba tiba langsung menembus pupil mata kita. Bila api kemarahan seperti ini berlangsung tiba tiba dan lama, tentu saja pupil mata hati akan terbakar dan membutakan diri kita dari pandangan terang kebenaran logika dan spiritual. Akibatnya,kita akan berusaha menciptakan pembenaranatas tindakan yang didasari kemarahan tersebut.
Api kemarahan yang kian besar bahkan dapat membuat seorang tega membunuh. Manakala ada orang yang berani melakukan pembunuhan atas nama pembenaran dan kemarahan atau aturan hokum duniawi, mereka berlaku seakan dirinya menjadi Tuhan yang berhak menentukan hidup mati seseorang. Anehnya, banyak yang justru membela dan mewajarkan tindakan itu. Namun, saat ada orang yang oleh pengikutnya dengan berani dan hormat disebut sebagai ‘utusan’ Tuhan untuk mengajarkan sifat sifat kebaikan bagi dunia, semua orang pasti segera menghujat dan menyangkal pengakuan itu. Lihatlah kontradiksi dalam kehidupan ini.
Andai saja kita bisa berlajar bersikap seperti lautan yang “menenggelamkan” matahari. Lihatlah, betapaun garangnya matahari siang membakar lautan dan menguapkan airnya, lautan tetap menjadi air sejuk yang tidak ikut mendidih. Pada saatnya tiba, senja akan “menengggelamkan” matahari itu di bawah garis cakrawala seakan ia masuk ke dalam kesejukan air samudra. Seperti itulah api kemarahan dalam diri, selalu ada saat ia tenggelam dalam kesejukan hati nurani. Asal kita tidak ikut mendidih dan ikhlas menunggu saat yang tepat, semua kemarahan akan sirna saat kesejukan hati menyadarkan kekhilafannya.

Comments

Popular posts from this blog

Hutan Hoia Baciu, Salah Satu Hutan Paling Mengerikan di Dunia

6 Kisah Unik Saksi Hidup Nyi Roro Kidul

Foto Bugil Artis Korea Shu Qi Tanpa Sensor Bocor Di Internet