Menanti Hujan dari Matahari
Suatu ketika sekelompok petani
bergabung dengan sekelompok penjual paying dan jas hujan melakukan demo ke
rumah suci Tuhan. Mereka berunjuk rasa memprotes panas matahari sepanjang musim
kemarau yang membuat sawah mereka kekeringan. Dan hujan yang tidak pernah
datang lebih dari separuh tahun itu membuat penjual jas hujan tidak mendapat
penghasilan sama sekali.
Tuhan yang maha pendengar tentu
saja memahami perasaan dan keinginan dari kelompok umatnya tersebut. Namun untuk
mengajari mereka kebenaran, sesuatu harus dilakukan. Dengan kuasaNya, maka
ditutupilah cahaya matahari dengan bulan selama siang hari sepanjang musim
kemarau. Para petani dan penjual jas hujan gembira luar biasa karena doa mereka
didengar dan dikabulkan Tuhan. Mulailah mereka berharap dan menunggu datangnya
hujan.
Berbulan bulan dinantikan,
nyatanya hujan tak kunjung datang. Padahal matahai sudah tak bersinar terik
akibat gerhana. Bahkan ketika musim sudah semestinya memasuki musim hujan , tak
satupun tetes air bahkan dalam wujud embun menetes dari langit. Tak tahan
dengan keadaan ini, mereka kembali berunjuk rasa menagih janji Tuhan. Tentu saja
Tuhan berdalih bahwa Dia tak pernah menjanjikan trunnya hujan kecuali berjanji
akan menutupi cahaya matahari sepanjang musim kemarau. Tanpa mereka ketahui,
matahari yang lama tak menyinari bumi akan menyebabkan sangat sedikit air yang
menguap dari laut untuk menjadi awan dan mendung. Ujungnya, tentu saja hujan
tak akan pernah turun lagi ke bumi.
Seperti kisah petani dan penjual
jas hujan itulah rupanya kebanyakan perilaku kita dihadapan takdir alam
semesta. Begitu banyak mengeluh untuk apa yang kita alami, hanya karena kita
tidak mengetahui pasti makna yang tersembunyi di balik peristiwa yang terjadi. Penderitaan
kita rasakan hanya sebagai penderitaan, dan kebahagiaan terbatas pada rasa
bahagia. Padahal, hidup ini sesungguhnya menyimpan banyak penderitaan yang
membahagiakan atau kebahagiaan yang menderitakan.
Tugas matahari memang mengirimkan
panasnya ke bumi untuk menguapkan air yang ada di bumi. Dalam wawasan
pengetahuan yang terbatas, tentu saja peran matahari yang sesungguhnya menjadi
awal dari terciptanya hujan tidak akan mudah dimengerti. Begitupun pemahaman
bahwa penderitaan sebenarnya membuat manusia memahami kebahagiaan atau
sebaliknya, tentu tidak mudah pula untuk dipahami dengan wawasan pikiran yang
terbatas.
Ketidak pahaman semacam ini
membuat kita mudah kecewa dan putus asa pada penderitaan dalam kehidupan. Dalam
keputusasaan, mulailah kita gemar menghujat nasib dan takdir yang tanpa disadari
sesungguhnya telah kita tetapkan sendiri bagi kehidupan yang kita jalanai saat
ini. Bahkan dalam kekecewaan atas doa doa kita yang tak terkabul, kita mulai
kehilangan keyakinan bahwa Tuhan itu memang ada. Hingga suara hati dari dalam
bertanya “ jika Tuhan pun tidak lagi kau yakini, lalu siapa lagi yang mesti
diyakini?” namun bagi mereka yang ikhlas
dalam keyakinan bahwa doa mereka pasti terkabul, akan menerima segala
peristiwa kehidupan sebagai rangkaian proses kerja semesta untuk mengabulkan
doa atau merealisasi harapan mereka.
Sayangnya kenayakan kita belum
berlatih sabar dalam mengikuti proses alam demi terkabulnya doa kita. Kita justru
mudah tergelincir untuk kehilangan keyakinan dan bahkan membalikkan doa dan
harapan diawal menjadi rasa keputusasaan. Akibatnya, tentu saja kecerdasan alam
metafisika akan menghentikan proses pengabulan doa awal karena bagiNya kita
tidak lagi menginginkan hal itu.
Belajar dari kenyataan alam nahwa
hujan yang dingin sesungguhnya tercipta dari cahaya matahari yang panas,
rupanya layak bagi kita untuk mencoba melihat sesuatu dari dua sisi yang
berbeda. Saat berharap dari kebahagiaa, perjalanan waktu kerap dimulai dengan
terpahatnya jejak jejak penderitaan. Sebaliknya, penderitaan yang menanti di
depan kerap tersembunyi di balik sejumlah kebahagiaan yang sedang kita rasakan.
Dengan cara ini alam mengajari kita agar selalu waspada sebelum menilai sebuah
peristiwa. Kewaspadaan seperti ini membuat sejumlah orang yang terlatih menjadi
lebih stabil dalam suka duka kehidupan.
Tatkala penderitaan datang
menghampiri kehidupan kita, yang justru perlu menjadi pertanyaan, tidakkah ada
yang salah dalam “doa doa’’ yang tanpa sadar kita panjatkan melalui pikiran,
kata, dan perilaku keseharian. Sebab, kitalah yang menciptakan setiap peristiwa
yang kita alami ini melalui isi keseharian pikiran dan hati kita. Sedangkan,
alam ada untuk memenuhi semua harapan itu.
Sekali lagi, kisah matahari
pencipta hujan tadi mengingatkan kita untuk tidak mudah terjebak pada
kekecewaan terhadap kinerja alam semesta. Bukan alam yang salah bekerja, tetapi
kitalah yang belum memahami rahasia kerja pikiran dan hati dalam membangun
harapan.
Comments
Post a Comment