Di Puncak Tangis Dan Tawa


Kesedihan dan kebahagiaan adalah bagian dari dualitas rasa yang dialami manusia sepanjang perjalanan Jiwa di kehidupan duniawinya. Sebagai bagian dari dualitas alamiah, tentu saja kedua rasa berbeda itu memiliki manfaat yang perlu dipahami kedalamannya. Tidak saja ia berguna bagi pertumbuhan emosional, keduanya juga mematangkan Jiwa dalam penerimaan atas dualitas diri sejatinya.
Tidak semua kesedihan akan menimbulkan tangis dan tidak semua tangis akan meneteskan air mata. Dalam ruang rasa yang berbeda, tidak semua kebahagiaan akan menghadirkan tawa dan tidak semua tawa akan meneluarkan air mata. Namun di puncak tawa dan tangis, selalu ada air mata yang mengalir dari sudut sudut mata, menyisakan pesan makna yang menarik untuk dikupas. Bagaimana dua rasa emosi yang tentu saja berbeda, namun kenyataanya bisa meneteskan air mata yang sama?
Bila sepakat bahwa mata adalah jendela Jiwa, dari mata kita bisa belajar memahami kehendak Jiwa yang ada di dalam diri, maka air mata yang menetes setidaknya layak diterima sebagai sebagian dari kehendak Jiwa untuk membersihkan ‘jendela’nya. Bukankah air mata secara alami adalah cara tubuh membersihkan bola mata dan lensanya? Debu, asap, atau kotoran lain memang selalu merangsang bola mata untuk memproduksi lebih banyak air mata untuk menghanyutkan kotoran itu. Namun, kenapa pula mata mesti dibersihkan saat mengalami kesedihan atau kegembiraan? Apakah kedua emosi ini telah “mengotori” Jiwa?
Bila kesedihan dan kebahagiaan adalah dualitas rasa alami yang harus dipahami oleh jiwa dalam kehidupan ini, lalu untuk apa jiwa menciptakan air mata saat kedua rasa ini hadir? Rupanya, mengalami dan merasakan sesuatu untuk bisa memahaminya tidaklah berarti bahwa kita harus melekat terhadap setiap rasa itu.seperti petani yang mengalami dan merasakan lumpur saat bercocok tanam, tidaklah berarti ia hatus membiarkan lumpur  itu melekat selamanya pada dirinya. Mesti ada saat dimana ia mengalaminya, lalu menbersihkan lumpur itu dari tubuhnya.
Setiap Jiwa layak mengalami kesedihan agar bisa memahami kesedihan serupa yang dialami orang lain. Pengalaman rasa itu akan menumbuhkan empati dalam pikirannya tatkala melihat orang lain mengalami hal yang sama. Pun demikian dalam kebahagiaan. Dengan merasakan sendiri suatu kebahagiaan, seseorang mestinya mudah untuk ikut merasakan kegembiraan serta kebahagiaan orang lain. Bukan sebaliknya, justru merasa gembira atas kesediha orang lain atau iri atas kebahagiaan seseorang.
Dalam bingkai pesan makna seperti ini, rupanya kesdihan dan kebahagiaan wajar dialami oleh pikiran sebagai bagian dari ekspresi dan pelepasan dualitas emosional. Namun air mata yang menetes di puncak tangis dan tawa seperti mengingatkan pikiran bahwa kedua rasa itupun mesti dibersihkan dari Jiwa. Terpuruk oleh kesedihan atau melekat pada kebahagiaan duniawi bukanlah tujuan Jiwa dalam kehidupannya. Jika memang membutuhkan pengalaman rasa, namun kita mesti tetap menjaga kemurnian cahayanya dengan selalu bebas dari segala kemelekatan.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

18+:Foto Otopsi Korban Pembunuhan dan Perkosaan

Hutan Hoia Baciu, Salah Satu Hutan Paling Mengerikan di Dunia