Pro Kontra Sunat Wanita
Sunat perempuan di dunia internasional disebut-sebut sebagai praktik yang melanggar hak asasi manusia. Di Indonesia, sunat perempuan pernah dilarang tahun 2006, akan tetapi baru-baru ini kembali menjadi kontroversi. Dan femina turut memberitakannya lewat Bintang & Peristiwa pada edisi 28 yang lalu. Disebutkan, salah satu sebab ramainya kembali pro-kontra sunat perempuan adalah keluarnya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI No. 1636/MENKES/PER/XI/2010. Isinya adalah panduan bagi tenaga medis untuk melakukan sunat perempuan. Pertanyaan yang muncul, kenapa sunat perempuan yang dilarang, kok, sekarang malah diberi panduannya?
Dua Juta per Tahun Ada beberapa istilah yang dipakai untuk menyebut sunat perempuan. Antara lain, pemotongan alat kelamin wanita (female genitale cutting), mutilasi alat kelamin wanita (female genitale mutilation), dan sunat perempuan (female circumcision). Namun, untuk lebih menekankan dampak kekerasan pada praktik ini, yang lebih banyak dipakai adalah female genital mutilation.
World Health Organization (WHO) membagi definisi sunat perempuan menjadi empat. Tipe I, memotong seluruh bagian klitoris (bagian mirip penis). Tipe II, memotong sebagian klitoris. Tipe III, menjahit atau menyempitkan mulut vagina (infibulasi). Tipe IV, menindik, menggores jaringan sekitar lubang vagina, atau memasukkan sesuatu ke dalam vagina agar terjadi perdarahan.
Sunat perempuan banyak dilakukan di negara-negara Afrika Utara, Timur Tengah, Asia Tenggara, dan beberapa suku pedalaman di Amerika Selatan dan Australia. Lembaga Amnesty International memperkirakan, setidaknya 2 juta wanita dan anak perempuan disunat setiap tahunnya. Menurut WHO lagi, sekitar 140 juta anak perempuan dan wanita di seluruh dunia hidup dalam budaya yang mempraktikkan sunat perempuan.
Dalam laporannya pada tahun 2010 yang berjudul Tak Ada Pilihan: Hambatan Atas Kesehatan Reproduktif, Amnesty International menemukan berbagai fakta tentang praktik sunat perempuan di Indonesia. Praktik ini biasanya dilakukan dukun bayi tradisional dalam 6 minggu pertama setelah kelahiran bayi perempuan. Tindakan yang umum dilakukan mulai dari goresan simbolis (tapi sering kali tetap mengenai klitoris) sampai dengan memotong sebagian kecil klitoris. Banyak responden dalam laporan tersebut yang mengaku bayi mereka mengalami perdarahan setelahnya.
Salah satu alasan dilakukannya sunat adalah untuk menekan libido saat seorang anak perempuan tumbuh dewasa. Wanita yang disunat, dianggap pasti akan dapat menekan nafsu seksual, sehingga mereka tetap dapat menjaga kehormatan dirinya sampai menikah. Dokter Sharifa Sibiani dari King Abdulaziz University Hospital, Jeddah, melakukan studi terhadap 260 wanita yang separuhnya sudah disunat. Ia mempelajari perilaku seksual dan pengalaman mereka saat berhubungan seks. Hasilnya, ternyata tidak ada perbedaan gairah seksual atau libido di antara wanita yang sudah dan tidak disunat.
Namun, mereka yang sudah disunat mengaku tidak mudah terangsang dan lebih sulit untuk mendapatkan orgasme. Hal ini tidak sepenuhnya disebabkan masalah fisik akibat klitoris yang terluka. Menurut Dr. Noroyono Wibowo, SpOG, Ketua Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, kepuasan seksual adalah sesuatu yang kompleks, yang tidak hanya ditentukan oleh kondisi fisik. Kepuasan seksual adalah sesuatu yang situasional dan individual, tergantung dari pengalaman masing-masing orang. Jadi, sifatnya sangat relatif. “Yang bisa dikatakan dengan pasti adalah, sunat perempuan terbukti sama sekali tidak memiliki manfaat medis seperti sunat laki-laki,” tegasnya.
Pro Kontra Agama Sebagai bentuk dukungan terhadap penghapusan diskriminasi dan kekerasan berdasarkan gender, pemerintah Indonesia tahun 2006 mengeluarkan surat edaran berisi larangan bagi tenaga medis untuk melakukan segala bentuk sunat perempuan (mengiris ataupun memotong). Lokakarya Praktik Sunat Perempuan pada bulan Juni 2005 yang melibatkan organisasi profesi, LSM, komnas, dan seluruh aspek program dan sektor sepakat bahwa sunat perempuan tidak berguna bagi kesehatan, bahkan merugikan dan menyakitkan.
Akan tetapi, praktik sunat perempuan di Indonesia dilakukan karena berbagai alasan. Mulai dari keagamaan, kebersihan (bagian luar kelamin perempuan dianggap kotor), sampai menghindari penyakit. Ada juga kepercayaan, bahwa wanita yang disunat tak akan memiliki libido besar. Karenanya, risikonya kecil untuk berselingkuh. Tak jarang pula sunat perempuan dilakukan untuk mengikuti suatu tradisi, sementara alasan sesungguhnya sudah terlupakan dan tak lagi dipertanyakan.
Yang menarik, sebagian besar praktik sunat perempuan di Indonesia adalah berlandaskan ajaran agama. Faktanya, studi yang dilakukan organisasi internasional Population Council di Jakarta tahun 2003 terhadap 1.694 ibu dengan anak perempuan d bawah usia 19 tahun, ditemukan perbedaan interpretasi akan ajaran Islam tentang sunat perempuan. Ada yang menganggapnya sebagai kewajiban, sebagian lagi karena sunah (tidak diharuskan), sisanya karena alasan kehormatan atau martabat.
Untuk memperjelasnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Keputusan Fatwa tahun 2008 tentang khitan perempuan. Khitan atau sunat untuk laki-laki termasuk aturan dan syiar Islam. Sedangkan khitan untuk perempuan adalah makrumah, yaitu salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan. Seperti mencukur rambut di sekitar kemaluan, memotong kumis, mencukur bulu ketiak, dan menggunting kuku, khitan adalah fitrah manusia. Sehingga, pelarangan segala bentuk atau tipe khitan terhadap perempuan dianggap bertentangan dengan ketentuan syariah.
Khitan atau sunat dalam agama Islam, menurut MUI, bukan mutilasi atau pemotongan klitoris seluruhnya. Karena, dalam beberapa hadis memang wanita disarankan sunat, tetapi tidak secara berlebihan. Mutilasi klitoris justru dianggap tidak akan membahagiakan suami-istri. Dengan fatwa tersebut, MUI mengimbau, sunat perempuan hanya boleh dilakukan dengan cara menghilangkan selaput yang menutupi klitoris, tidak boleh sampai melukai bahkan memotong klitoris.
MUI juga mengharuskan sunat dilakukan oleh tenaga medis yang sudah diberi penyuluhan dan pelatihan. Menurut Permenkes 1636 tahun 2010, sama dengan fatwa MUI, sunat perempuan adalah tindakan menggores kulit penutup bagian depan klitoris, tanpa melukai klitoris.
Menurut Dr. Hamim Ilyas, dosen di Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, praktik sunat perempuan sebetulnya sudah ada jauh sebelum Islam. Dari sejarahnya, selama ribuan tahun sunat perempuan lazim dilakukan di lembah Sungai Nil, yakni Mesir, Sudan, dan Etiopia, serta secara terbatas pada masyarakat Arab, Rusia, dan Amerika Latin. Tapi, menurut Hamim, tidak ada informasi bahwa sunat perempuan juga berasal dari ajaran Nabi Ibrahim. Ketika Islam datang, praktik sunat perempuan merupakan fenomena lintas budaya. Islam pada masa Nabi Muhammad tidak memperkenalkan praktik sunat perempuan. Ketika Nabi mengetahui praktik itu ada di satu kabilah, maka Nabi berpesan pada dukun sunat perempuan bernama Ummi Rafi’ah --yang selalu diminta para orang tua mengkhitan anak perempuannya-- supaya melakukannya sesedikit mungkin dan tidak berlebihan.
Dilarang, tapi Boleh
Tanggal 6 Februari ditetapkan WHO sebagai International Day of Zero Tolerance to Female Genitale Mutilation, atau Hari Internasional untuk Nol Toleransi Terhadap Mutilasi Perempuan. Female circumcision dan female genital mutilation digolongkan dalam daftar kekerasan terhadap wanita, setara antara lain dengan KDRT, human trafficking, perbudakan seks, dan pemerkosaan. Pada tahun 2007 tercatat 30 negara sudah menetapkan hukum larangan sunat perempuan.
Sementara Permenkes No.1636, yang dikeluarkan tahun 2010, dengan spesifik menyebutkan langkah-langkah yang harus diambil tenaga medis, jika mereka harus melakukan sunat perempuan. Dokter Ina Hernawati, MPH, Direktur Bina Kesehatan Ibu, menuturkan bahwa sunat perempuan hanya sedikit menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris dan tidak menimbulkan luka. “Alat yang digunakan adalah jarum suntik ukuran terkecil,” katanya.
Peraturan dan panduan ini tentu membuat gusar banyak pihak. Amnesty Internasional dan Masyarakat Sipil Indonesia yang terdiri dari 117 lembaga masyarakat daerah, 19 organisasi internasional, 42 individu, beberapa waktu lalu mengeluarkan pernyataan bersama. Mereka menuntut pemerintah Indonesia untuk menghapuskan peraturan yang dianggap justru membenarkan bahkan mendorong praktik sunat perempuan di Indonesia.
Nong Darol Mahmada, Program Manager Freedom Institute dan salah satu pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL), melihat sunat perempuan sebagai bentuk diskriminasi karena berbagai hal. Pertama, berbeda dari sunat laki-laki yang memiliki manfaat kesehatan dan diwajibkan secara teologis Islam, sunat perempuan sama sekali tidak ada gunanya.
Kedua, sunat perempuan di Indonesia kebanyakan dilakukan tanpa persetujuan anak untuk alasan non-medis. Bahkan, berdasarkan pengamatan Nong, di beberapa klinik dan rumah sakit bersalin di Jakarta dan daerah, sunat perempuan dijadikan satu paket dengan tindik telinga untuk keluarga muslim. “Sehari setelah lahir, putri pertama saya disunat dan ditindik telinganya tanpa sepengetahuan saya,” ujar Nong.
Ketiga, dan yang paling penting menurut Nong, sunat perempuan adalah wujud budaya patriarkat yang digunakan untuk mengontrol hidup wanita. Sebab, dalam berbagai hadis yang menyebutkannya, tujuan sunat perempuan adalah untuk meminimalkan seksualitas wanita dan membahagiakan suaminya.
Lebih lanjut, sunat juga sering dihubungkan dengan masalah sosial. “Misalnya, ada wanita yang dipandang ‘nakal’ yang ternyata tidak disunat. Masyarakat akan melihat, pantas saja nakal, soalnya dia tidak disunat,” tutur Nong.
Dokter Ina menegaskan bahwa Permenkes No.1636 dibuat justru untuk melindungi wanita dan anak perempuan, karena pelaksanaan sunat harus sesuai ketentuan agama, standar pelayanan, dan standar profesi untuk menjamin keselamatan perempuan yang disunat.
Sebanyak 72% sunat perempuan yang terjadi di Indonesia, dilakukan dengan cara berbahaya, seperti menyayat, menggores, dan memotong sebagian atau seluruh ujung klitoris. Juga, ditemukan beberapa kasus orang tua membawa anak perempuannya untuk disunat oleh dukun dan tenaga nonmedis lain karena tidak bisa ke dokter. “Akibatnya, risiko perdarahan dan infeksi lebih tinggi lagi,” kata dr. Ina. Dengan adanya peraturan ini, tenaga medis baru akan melakukan sunat, jika diminta orang tua.
Nong tidak sependapat. “Buat saya, mutilasi atau hanya sekadar menggores, sama saja sakitnya. Pemakaian jarum suntik, sekecil apa pun, pada alat kelamin yang sifatnya sangat sensitif, tetap saja sangat berisiko,” katanya. Lagi pula, lanjut Nong, saat praktik ini dilakukan di daerah yang lebih terpencil, siapa yang akan mengawasi praktik sunat dilakukan sesuai prosedur? “Akan jauh lebih baik bila yang dilakukan adalah metode sunat yang simbolis saja. Misalnya, menorehkan kencur atau obat antiseptik, seperti yang sudah dilakukan masyarakat di beberapa tempat.”
Efek jangka pendek dan panjang
Jika sunat pada laki-laki berdampak positif dan membuat kebersihan di sekitar penis jauh lebih terjaga, menurut WHO, sunat perempuan dapat berdampak buruk bagi kesehatan. Dampak jangka pendek yang bisa timbul antara lain perdarahan dan sakit kepala luar biasa yang dapat mengakibatkan shock atau kematian, infeksi pada seluruh organ panggul, tetanus dan gangrene yang dapat menyebabkan kematian, serta kesulitan atau sakit saat buang air karena adanya pembengkakan dan sumbatan pada saluran urine.
Sedangkan dampak jangka panjangnya yaitu rasa sakit berkepanjangan saat berhubungan seks, penis tidak dapat masuk ke dalam vagina sehingga perlu dioperasi, kista, keloid pada bekas sunat, disfungsi seksual (tidak dapat mencapai orgasme saat berhubungan seks), disfungsi haid yang mengakibatkan hematocolpos (akumulasi darah haid dalam vagina), hematometra
Dua Juta per Tahun Ada beberapa istilah yang dipakai untuk menyebut sunat perempuan. Antara lain, pemotongan alat kelamin wanita (female genitale cutting), mutilasi alat kelamin wanita (female genitale mutilation), dan sunat perempuan (female circumcision). Namun, untuk lebih menekankan dampak kekerasan pada praktik ini, yang lebih banyak dipakai adalah female genital mutilation.
World Health Organization (WHO) membagi definisi sunat perempuan menjadi empat. Tipe I, memotong seluruh bagian klitoris (bagian mirip penis). Tipe II, memotong sebagian klitoris. Tipe III, menjahit atau menyempitkan mulut vagina (infibulasi). Tipe IV, menindik, menggores jaringan sekitar lubang vagina, atau memasukkan sesuatu ke dalam vagina agar terjadi perdarahan.
Sunat perempuan banyak dilakukan di negara-negara Afrika Utara, Timur Tengah, Asia Tenggara, dan beberapa suku pedalaman di Amerika Selatan dan Australia. Lembaga Amnesty International memperkirakan, setidaknya 2 juta wanita dan anak perempuan disunat setiap tahunnya. Menurut WHO lagi, sekitar 140 juta anak perempuan dan wanita di seluruh dunia hidup dalam budaya yang mempraktikkan sunat perempuan.
Dalam laporannya pada tahun 2010 yang berjudul Tak Ada Pilihan: Hambatan Atas Kesehatan Reproduktif, Amnesty International menemukan berbagai fakta tentang praktik sunat perempuan di Indonesia. Praktik ini biasanya dilakukan dukun bayi tradisional dalam 6 minggu pertama setelah kelahiran bayi perempuan. Tindakan yang umum dilakukan mulai dari goresan simbolis (tapi sering kali tetap mengenai klitoris) sampai dengan memotong sebagian kecil klitoris. Banyak responden dalam laporan tersebut yang mengaku bayi mereka mengalami perdarahan setelahnya.
Salah satu alasan dilakukannya sunat adalah untuk menekan libido saat seorang anak perempuan tumbuh dewasa. Wanita yang disunat, dianggap pasti akan dapat menekan nafsu seksual, sehingga mereka tetap dapat menjaga kehormatan dirinya sampai menikah. Dokter Sharifa Sibiani dari King Abdulaziz University Hospital, Jeddah, melakukan studi terhadap 260 wanita yang separuhnya sudah disunat. Ia mempelajari perilaku seksual dan pengalaman mereka saat berhubungan seks. Hasilnya, ternyata tidak ada perbedaan gairah seksual atau libido di antara wanita yang sudah dan tidak disunat.
Namun, mereka yang sudah disunat mengaku tidak mudah terangsang dan lebih sulit untuk mendapatkan orgasme. Hal ini tidak sepenuhnya disebabkan masalah fisik akibat klitoris yang terluka. Menurut Dr. Noroyono Wibowo, SpOG, Ketua Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, kepuasan seksual adalah sesuatu yang kompleks, yang tidak hanya ditentukan oleh kondisi fisik. Kepuasan seksual adalah sesuatu yang situasional dan individual, tergantung dari pengalaman masing-masing orang. Jadi, sifatnya sangat relatif. “Yang bisa dikatakan dengan pasti adalah, sunat perempuan terbukti sama sekali tidak memiliki manfaat medis seperti sunat laki-laki,” tegasnya.
Pro Kontra Agama Sebagai bentuk dukungan terhadap penghapusan diskriminasi dan kekerasan berdasarkan gender, pemerintah Indonesia tahun 2006 mengeluarkan surat edaran berisi larangan bagi tenaga medis untuk melakukan segala bentuk sunat perempuan (mengiris ataupun memotong). Lokakarya Praktik Sunat Perempuan pada bulan Juni 2005 yang melibatkan organisasi profesi, LSM, komnas, dan seluruh aspek program dan sektor sepakat bahwa sunat perempuan tidak berguna bagi kesehatan, bahkan merugikan dan menyakitkan.
Akan tetapi, praktik sunat perempuan di Indonesia dilakukan karena berbagai alasan. Mulai dari keagamaan, kebersihan (bagian luar kelamin perempuan dianggap kotor), sampai menghindari penyakit. Ada juga kepercayaan, bahwa wanita yang disunat tak akan memiliki libido besar. Karenanya, risikonya kecil untuk berselingkuh. Tak jarang pula sunat perempuan dilakukan untuk mengikuti suatu tradisi, sementara alasan sesungguhnya sudah terlupakan dan tak lagi dipertanyakan.
Yang menarik, sebagian besar praktik sunat perempuan di Indonesia adalah berlandaskan ajaran agama. Faktanya, studi yang dilakukan organisasi internasional Population Council di Jakarta tahun 2003 terhadap 1.694 ibu dengan anak perempuan d bawah usia 19 tahun, ditemukan perbedaan interpretasi akan ajaran Islam tentang sunat perempuan. Ada yang menganggapnya sebagai kewajiban, sebagian lagi karena sunah (tidak diharuskan), sisanya karena alasan kehormatan atau martabat.
Untuk memperjelasnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Keputusan Fatwa tahun 2008 tentang khitan perempuan. Khitan atau sunat untuk laki-laki termasuk aturan dan syiar Islam. Sedangkan khitan untuk perempuan adalah makrumah, yaitu salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan. Seperti mencukur rambut di sekitar kemaluan, memotong kumis, mencukur bulu ketiak, dan menggunting kuku, khitan adalah fitrah manusia. Sehingga, pelarangan segala bentuk atau tipe khitan terhadap perempuan dianggap bertentangan dengan ketentuan syariah.
Khitan atau sunat dalam agama Islam, menurut MUI, bukan mutilasi atau pemotongan klitoris seluruhnya. Karena, dalam beberapa hadis memang wanita disarankan sunat, tetapi tidak secara berlebihan. Mutilasi klitoris justru dianggap tidak akan membahagiakan suami-istri. Dengan fatwa tersebut, MUI mengimbau, sunat perempuan hanya boleh dilakukan dengan cara menghilangkan selaput yang menutupi klitoris, tidak boleh sampai melukai bahkan memotong klitoris.
MUI juga mengharuskan sunat dilakukan oleh tenaga medis yang sudah diberi penyuluhan dan pelatihan. Menurut Permenkes 1636 tahun 2010, sama dengan fatwa MUI, sunat perempuan adalah tindakan menggores kulit penutup bagian depan klitoris, tanpa melukai klitoris.
Menurut Dr. Hamim Ilyas, dosen di Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, praktik sunat perempuan sebetulnya sudah ada jauh sebelum Islam. Dari sejarahnya, selama ribuan tahun sunat perempuan lazim dilakukan di lembah Sungai Nil, yakni Mesir, Sudan, dan Etiopia, serta secara terbatas pada masyarakat Arab, Rusia, dan Amerika Latin. Tapi, menurut Hamim, tidak ada informasi bahwa sunat perempuan juga berasal dari ajaran Nabi Ibrahim. Ketika Islam datang, praktik sunat perempuan merupakan fenomena lintas budaya. Islam pada masa Nabi Muhammad tidak memperkenalkan praktik sunat perempuan. Ketika Nabi mengetahui praktik itu ada di satu kabilah, maka Nabi berpesan pada dukun sunat perempuan bernama Ummi Rafi’ah --yang selalu diminta para orang tua mengkhitan anak perempuannya-- supaya melakukannya sesedikit mungkin dan tidak berlebihan.
Dilarang, tapi Boleh
Tanggal 6 Februari ditetapkan WHO sebagai International Day of Zero Tolerance to Female Genitale Mutilation, atau Hari Internasional untuk Nol Toleransi Terhadap Mutilasi Perempuan. Female circumcision dan female genital mutilation digolongkan dalam daftar kekerasan terhadap wanita, setara antara lain dengan KDRT, human trafficking, perbudakan seks, dan pemerkosaan. Pada tahun 2007 tercatat 30 negara sudah menetapkan hukum larangan sunat perempuan.
Sementara Permenkes No.1636, yang dikeluarkan tahun 2010, dengan spesifik menyebutkan langkah-langkah yang harus diambil tenaga medis, jika mereka harus melakukan sunat perempuan. Dokter Ina Hernawati, MPH, Direktur Bina Kesehatan Ibu, menuturkan bahwa sunat perempuan hanya sedikit menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris dan tidak menimbulkan luka. “Alat yang digunakan adalah jarum suntik ukuran terkecil,” katanya.
Peraturan dan panduan ini tentu membuat gusar banyak pihak. Amnesty Internasional dan Masyarakat Sipil Indonesia yang terdiri dari 117 lembaga masyarakat daerah, 19 organisasi internasional, 42 individu, beberapa waktu lalu mengeluarkan pernyataan bersama. Mereka menuntut pemerintah Indonesia untuk menghapuskan peraturan yang dianggap justru membenarkan bahkan mendorong praktik sunat perempuan di Indonesia.
Nong Darol Mahmada, Program Manager Freedom Institute dan salah satu pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL), melihat sunat perempuan sebagai bentuk diskriminasi karena berbagai hal. Pertama, berbeda dari sunat laki-laki yang memiliki manfaat kesehatan dan diwajibkan secara teologis Islam, sunat perempuan sama sekali tidak ada gunanya.
Kedua, sunat perempuan di Indonesia kebanyakan dilakukan tanpa persetujuan anak untuk alasan non-medis. Bahkan, berdasarkan pengamatan Nong, di beberapa klinik dan rumah sakit bersalin di Jakarta dan daerah, sunat perempuan dijadikan satu paket dengan tindik telinga untuk keluarga muslim. “Sehari setelah lahir, putri pertama saya disunat dan ditindik telinganya tanpa sepengetahuan saya,” ujar Nong.
Ketiga, dan yang paling penting menurut Nong, sunat perempuan adalah wujud budaya patriarkat yang digunakan untuk mengontrol hidup wanita. Sebab, dalam berbagai hadis yang menyebutkannya, tujuan sunat perempuan adalah untuk meminimalkan seksualitas wanita dan membahagiakan suaminya.
Lebih lanjut, sunat juga sering dihubungkan dengan masalah sosial. “Misalnya, ada wanita yang dipandang ‘nakal’ yang ternyata tidak disunat. Masyarakat akan melihat, pantas saja nakal, soalnya dia tidak disunat,” tutur Nong.
Dokter Ina menegaskan bahwa Permenkes No.1636 dibuat justru untuk melindungi wanita dan anak perempuan, karena pelaksanaan sunat harus sesuai ketentuan agama, standar pelayanan, dan standar profesi untuk menjamin keselamatan perempuan yang disunat.
Sebanyak 72% sunat perempuan yang terjadi di Indonesia, dilakukan dengan cara berbahaya, seperti menyayat, menggores, dan memotong sebagian atau seluruh ujung klitoris. Juga, ditemukan beberapa kasus orang tua membawa anak perempuannya untuk disunat oleh dukun dan tenaga nonmedis lain karena tidak bisa ke dokter. “Akibatnya, risiko perdarahan dan infeksi lebih tinggi lagi,” kata dr. Ina. Dengan adanya peraturan ini, tenaga medis baru akan melakukan sunat, jika diminta orang tua.
Nong tidak sependapat. “Buat saya, mutilasi atau hanya sekadar menggores, sama saja sakitnya. Pemakaian jarum suntik, sekecil apa pun, pada alat kelamin yang sifatnya sangat sensitif, tetap saja sangat berisiko,” katanya. Lagi pula, lanjut Nong, saat praktik ini dilakukan di daerah yang lebih terpencil, siapa yang akan mengawasi praktik sunat dilakukan sesuai prosedur? “Akan jauh lebih baik bila yang dilakukan adalah metode sunat yang simbolis saja. Misalnya, menorehkan kencur atau obat antiseptik, seperti yang sudah dilakukan masyarakat di beberapa tempat.”
Efek jangka pendek dan panjang
Jika sunat pada laki-laki berdampak positif dan membuat kebersihan di sekitar penis jauh lebih terjaga, menurut WHO, sunat perempuan dapat berdampak buruk bagi kesehatan. Dampak jangka pendek yang bisa timbul antara lain perdarahan dan sakit kepala luar biasa yang dapat mengakibatkan shock atau kematian, infeksi pada seluruh organ panggul, tetanus dan gangrene yang dapat menyebabkan kematian, serta kesulitan atau sakit saat buang air karena adanya pembengkakan dan sumbatan pada saluran urine.
Sedangkan dampak jangka panjangnya yaitu rasa sakit berkepanjangan saat berhubungan seks, penis tidak dapat masuk ke dalam vagina sehingga perlu dioperasi, kista, keloid pada bekas sunat, disfungsi seksual (tidak dapat mencapai orgasme saat berhubungan seks), disfungsi haid yang mengakibatkan hematocolpos (akumulasi darah haid dalam vagina), hematometra
Comments
Post a Comment