Ini Budi, Itu Miyabi
Ardi Winangun - detikNews
Jakarta Kita pasti ingat ketika dulu masuk kelas I SD, pelajaran membaca yang pertama kali diajarkan oleh bapak atau ibu guru adalah mengeja 'ini Budi, Wati kakak Budi, dan Iwan adik Budi'. Namun pelajaran mengeja 'Ini Budi' saat-saat ini bisa berubah dengan kalimat 'Itu Miyabi'.
Nama Miyabi mengganti Budi, Iwan, dan Wati, bisa saja terjadi. Terbukti di Lembar Kerja Siswa (LKS) Kelas III SMP, di Mojokerto, Jawa Timur, ditemukan gambar Miyabi. Bila Miyabi seorang penemu mobil dari Jepang atau atlet olahraga yang tersohor, hal demikian mungkin tidak menjadi masalah. Masalah itu muncul sebab perempuan asal Jepang yang bernama asli Maria Ozawa itu adalah bintang film porno.
Sebagai bintang film porno, Miyabi bukan sebagai bintang film porno kelas kampung, amatiran, atau akibat kamera tersembunyi. Namun ia bintang film porno profesional, sangat populer, bahkan film-film pornonya paling banyak dicari orang. Disebut dalam sebuah wawancara dengan sebuah media, ia mengatakan sudah memperagakan 48 posisi bercinta. Kecantikan dan keberanian dirinya dalam bermain dalam film porno membuat namanya melejit setinggi langit. Tak heran produser film di Indonesia pun menawari Miyabi untuk main film. Tentu film yang dibuat bukan untuk mendidik atau menghibur, namun sebatas mencari untung.
Lolosnya hal-hal yang berbau porno masuk dalam LKS dan buku sekolah, bukan pertama terjadi. Beberapa bulan yang lalu, di sebuah LKS SD di Jakarta, ada kisah yang menceritakan istri simpanan. Cerita itu membuat penasaran anak-anak SD dan membuat gelisah para orang tuanya. Selepas mempelajari buku itu, salah seorang anak bertanya kepada ibunya, "Ibu apa sih yang dimaksud dengan istri simpanan?". Mendapat pertanyaan yang demikian, tentu sang ibu bingung bagaimana menjelaskan. Kalau dijawab secara jujur pastinya akan berdampak sang anak akan lebih cepat menjadi dewasa. Bila dijawab secara bohong pasti akan membuat anak salah persepsi akan status istri simpanan.
Seringnya hal-hal yang berbau porno atau cerita-cerita dewasa terselip dalam LKS dan buku pelajaran bisa sampai ke tangan-tangan anak-anak sekolah. Ini disebabkan karena komersialisasi pendidikan. Sekolah dan siswa-siswanya dianggap sebagai lahan yang potensial untuk mengeruk keuntungan. Beredarnya LKS yang sejak dulu hingga saat ini menyerbu sekolah-sekolah sebab adanya proyek bagi hasil atau kongkalingkong antara sekolah (guru), dinas pendidikan (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) serta penerbit.
Pihak sekolah yang mau menjual LKS terbitan sebuah penerbit, dengan sepengetahuan dinas pendidikan, kepada siswa-siswanya, maka guru dan pegawai dinas pendidikan akan mendapat bonus. Bonusnya bermacam-macam, sampai ada bonus para guru dan tenaga admnistrasinya wisata ke Pulau Bali atau tempat wisata lainnya, Yogyakarta misalnya. Bila penjualan tidak banyak, bonusnya ya paling duit sekian rupiah. Bonus yang diiming-imingkan dari penerbit itu tentu membuat pihak sekolah dan dinas pendidikan tergoda. Meski LKS itu tidak dianggap penting, siswa-siswanya dipaksa untuk membeli. Bila tidak bisa dibayar secara kontan, siswa-siwa diberi toleransi dengan cara mengangsur.
Penerbit yang menawarkan ke sekolah itu tidak datang dari satu penerbit, namun puluhan penerbit dengan marketing-nya bersaing masuk ke sekolah-sekolah, seperti medical represantif yang bersaing masuk ke para dokter atau rumah sakit-rumah sakit untuk menawarkan obat. Bila sekali ditolak, marketing buku itu tidak kapok, didatangi terus sampai pihak sekolah mengiyakan.
Maraknya penerbit buku-buku sekolah dan LKS hadir di tengah-tengah masyarakat, ini juga diakibatkan adanya keterbukaan informasi dan harga mesin cetak yang semakin terjangkau oleh masyarakat. Dalam era reformasi, penerbit tumbuh bak cendawan di musim hujan. Dulu semasa Orde Baru, penerbit yang ada hanya terbilang satu sampai dua. Namun sekarang di kota-kota yang bernuansa kota pendidikan, seperti Yogyakarta, ada puluhan penerbit.
Para penerbit itu mencari segmen-segmen tertentu, ada yang fokus menerbitkan buku-buku pendidikan, buku-buku yang berbau kiri, buku-buku agama, buku-buku teknologi dan komputer, bahkan ada yang menerbitkan buku-buku khusus memasak. Persaingan di antara mereka ditambah hadirnya buku e-paper, membuat banyak penerbit yang ada bangkrut. Buku yang dicetak tidak laku di pasar, sehingga penerbit me-riset dan mencari pasar apa yang menjanjikan dan potensial. Akhirnya ditemukan bahwa pasar itu adalah dunia pendidikan. Persaingan diantara penerbit membuat mereka tidak lagi idealis namun menjadi pragmatis.
Sebagai sektor yang sangat menjanjikan dan mempunyai potensi yang sangat tinggi, dunia pendidikan dianggap sektor yang sangat menjanjikan dibanding dengan menerbitkan buku-buku lainnya yang pasarnya semakin sempit. Dari sinilah maka penerbit berbondong-bondong menjadi penerbit buku sekolah.
Semakin terjangkaunya harga mesin cetak buku, di daerah kabupaten kecil pun banyak pengusaha yang menanamkan investasinya di usaha penerbitan. Dengan menawarkan kepada guru-guru di sekolah favorit di kabupaten itu untuk membuat buku pelajaran dan dibantu dengan pemasaran yang memaksa atau iming-iming kepada sekolah-sekolah yang ada, maka usaha itu akan membuat untung pengusaha daerah itu. Soal mutu? Nah itu yang perlu diuji.
Jebolnya hal-hal yang berbau porno masuk dalam LKS dan buku-buku sekolah ini banyak terjadi di masa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di bawah Menteri Muhammad Nuh. Ini sebuah peringatan kepada Muhammad Nuh untuk lebih berhati-hati dalam mengawasi dan menyelenggarakan pendidikan. Terlihat selama ini yang dilakukan lebih pada menarik sesuatu yang sudah terjadi, tidak mencegah sebelum hal-hal yang tak pantas beredar.
Bisa saja masalah ini tidak hanya urusan Muhmmad Nuh, tapi juga disebabkan keteledoran pihak sekolah dan dinas pendidikan setempat. Pihak sekolah dan dinas pendidikan setempat selama ini melihat LKS atau buku sekolah tidak halaman per halaman, namun secara sekilas saja. Karena iming-iming yang menggiurkan itulah maka pihak sekolah dan dinas pendidikan dengan tergesa-gesa mengiyakan kepada marketing buku atau LKS menyanggupi menjual LKS dan buku kepada siswa-siswanya.
*) Ardi Winangun adalah pengamat politik. Penulis tinggal di Matraman, Jakarta. Nomor kontak: 08159052503
Jakarta Kita pasti ingat ketika dulu masuk kelas I SD, pelajaran membaca yang pertama kali diajarkan oleh bapak atau ibu guru adalah mengeja 'ini Budi, Wati kakak Budi, dan Iwan adik Budi'. Namun pelajaran mengeja 'Ini Budi' saat-saat ini bisa berubah dengan kalimat 'Itu Miyabi'.
Nama Miyabi mengganti Budi, Iwan, dan Wati, bisa saja terjadi. Terbukti di Lembar Kerja Siswa (LKS) Kelas III SMP, di Mojokerto, Jawa Timur, ditemukan gambar Miyabi. Bila Miyabi seorang penemu mobil dari Jepang atau atlet olahraga yang tersohor, hal demikian mungkin tidak menjadi masalah. Masalah itu muncul sebab perempuan asal Jepang yang bernama asli Maria Ozawa itu adalah bintang film porno.
Sebagai bintang film porno, Miyabi bukan sebagai bintang film porno kelas kampung, amatiran, atau akibat kamera tersembunyi. Namun ia bintang film porno profesional, sangat populer, bahkan film-film pornonya paling banyak dicari orang. Disebut dalam sebuah wawancara dengan sebuah media, ia mengatakan sudah memperagakan 48 posisi bercinta. Kecantikan dan keberanian dirinya dalam bermain dalam film porno membuat namanya melejit setinggi langit. Tak heran produser film di Indonesia pun menawari Miyabi untuk main film. Tentu film yang dibuat bukan untuk mendidik atau menghibur, namun sebatas mencari untung.
Lolosnya hal-hal yang berbau porno masuk dalam LKS dan buku sekolah, bukan pertama terjadi. Beberapa bulan yang lalu, di sebuah LKS SD di Jakarta, ada kisah yang menceritakan istri simpanan. Cerita itu membuat penasaran anak-anak SD dan membuat gelisah para orang tuanya. Selepas mempelajari buku itu, salah seorang anak bertanya kepada ibunya, "Ibu apa sih yang dimaksud dengan istri simpanan?". Mendapat pertanyaan yang demikian, tentu sang ibu bingung bagaimana menjelaskan. Kalau dijawab secara jujur pastinya akan berdampak sang anak akan lebih cepat menjadi dewasa. Bila dijawab secara bohong pasti akan membuat anak salah persepsi akan status istri simpanan.
Seringnya hal-hal yang berbau porno atau cerita-cerita dewasa terselip dalam LKS dan buku pelajaran bisa sampai ke tangan-tangan anak-anak sekolah. Ini disebabkan karena komersialisasi pendidikan. Sekolah dan siswa-siswanya dianggap sebagai lahan yang potensial untuk mengeruk keuntungan. Beredarnya LKS yang sejak dulu hingga saat ini menyerbu sekolah-sekolah sebab adanya proyek bagi hasil atau kongkalingkong antara sekolah (guru), dinas pendidikan (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) serta penerbit.
Pihak sekolah yang mau menjual LKS terbitan sebuah penerbit, dengan sepengetahuan dinas pendidikan, kepada siswa-siswanya, maka guru dan pegawai dinas pendidikan akan mendapat bonus. Bonusnya bermacam-macam, sampai ada bonus para guru dan tenaga admnistrasinya wisata ke Pulau Bali atau tempat wisata lainnya, Yogyakarta misalnya. Bila penjualan tidak banyak, bonusnya ya paling duit sekian rupiah. Bonus yang diiming-imingkan dari penerbit itu tentu membuat pihak sekolah dan dinas pendidikan tergoda. Meski LKS itu tidak dianggap penting, siswa-siswanya dipaksa untuk membeli. Bila tidak bisa dibayar secara kontan, siswa-siwa diberi toleransi dengan cara mengangsur.
Penerbit yang menawarkan ke sekolah itu tidak datang dari satu penerbit, namun puluhan penerbit dengan marketing-nya bersaing masuk ke sekolah-sekolah, seperti medical represantif yang bersaing masuk ke para dokter atau rumah sakit-rumah sakit untuk menawarkan obat. Bila sekali ditolak, marketing buku itu tidak kapok, didatangi terus sampai pihak sekolah mengiyakan.
Maraknya penerbit buku-buku sekolah dan LKS hadir di tengah-tengah masyarakat, ini juga diakibatkan adanya keterbukaan informasi dan harga mesin cetak yang semakin terjangkau oleh masyarakat. Dalam era reformasi, penerbit tumbuh bak cendawan di musim hujan. Dulu semasa Orde Baru, penerbit yang ada hanya terbilang satu sampai dua. Namun sekarang di kota-kota yang bernuansa kota pendidikan, seperti Yogyakarta, ada puluhan penerbit.
Para penerbit itu mencari segmen-segmen tertentu, ada yang fokus menerbitkan buku-buku pendidikan, buku-buku yang berbau kiri, buku-buku agama, buku-buku teknologi dan komputer, bahkan ada yang menerbitkan buku-buku khusus memasak. Persaingan di antara mereka ditambah hadirnya buku e-paper, membuat banyak penerbit yang ada bangkrut. Buku yang dicetak tidak laku di pasar, sehingga penerbit me-riset dan mencari pasar apa yang menjanjikan dan potensial. Akhirnya ditemukan bahwa pasar itu adalah dunia pendidikan. Persaingan diantara penerbit membuat mereka tidak lagi idealis namun menjadi pragmatis.
Sebagai sektor yang sangat menjanjikan dan mempunyai potensi yang sangat tinggi, dunia pendidikan dianggap sektor yang sangat menjanjikan dibanding dengan menerbitkan buku-buku lainnya yang pasarnya semakin sempit. Dari sinilah maka penerbit berbondong-bondong menjadi penerbit buku sekolah.
Semakin terjangkaunya harga mesin cetak buku, di daerah kabupaten kecil pun banyak pengusaha yang menanamkan investasinya di usaha penerbitan. Dengan menawarkan kepada guru-guru di sekolah favorit di kabupaten itu untuk membuat buku pelajaran dan dibantu dengan pemasaran yang memaksa atau iming-iming kepada sekolah-sekolah yang ada, maka usaha itu akan membuat untung pengusaha daerah itu. Soal mutu? Nah itu yang perlu diuji.
Jebolnya hal-hal yang berbau porno masuk dalam LKS dan buku-buku sekolah ini banyak terjadi di masa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di bawah Menteri Muhammad Nuh. Ini sebuah peringatan kepada Muhammad Nuh untuk lebih berhati-hati dalam mengawasi dan menyelenggarakan pendidikan. Terlihat selama ini yang dilakukan lebih pada menarik sesuatu yang sudah terjadi, tidak mencegah sebelum hal-hal yang tak pantas beredar.
Bisa saja masalah ini tidak hanya urusan Muhmmad Nuh, tapi juga disebabkan keteledoran pihak sekolah dan dinas pendidikan setempat. Pihak sekolah dan dinas pendidikan setempat selama ini melihat LKS atau buku sekolah tidak halaman per halaman, namun secara sekilas saja. Karena iming-iming yang menggiurkan itulah maka pihak sekolah dan dinas pendidikan dengan tergesa-gesa mengiyakan kepada marketing buku atau LKS menyanggupi menjual LKS dan buku kepada siswa-siswanya.
*) Ardi Winangun adalah pengamat politik. Penulis tinggal di Matraman, Jakarta. Nomor kontak: 08159052503
Comments
Post a Comment