Mitos Tentang Harimau Jadi-Jadian



Indonesia kaya akan mitos dan legenda, dimana mitos yang beredar di masyarakat hidup dengan subur nya dan menjadi ciri khas dari suatu daerah. Mulai dari mitos yang bisa menjadi sebuah dongeng untuk pengantar tidur anak, sampai kepada mitos yang tidak bisa diterima oleh nalar dan akal sehat, benar atau tidaknya mitos tersebut menjadi hal terakhir bagi masyarakat.

Kali ini penulis akan menceritakan sebuah mitos hidup yang berasal dari daerah minang, yaitu sebuah daerah lembah harau, payakumbuh.

Lembah harau sendiri menurut legenda masyarakat sendiri adalah sebuah kerajaan pada dahulu kala. Di atas tebing itu berdiri sebuah kerajaan kecil, yang dikelilingi oleh lautan.

Di Lembah harau sendiri adalah Inyiak, mitos hidup yang beredar dari mulut ke mulut dan bahkan hidup sampai sekarang ini.
inyiak adalah harimau jadi-jadian, dimana pada masyarakat minang sendiri, harimau adalah binatang magis yang dihormati.
dalam legendanya asal muasal inyiak ini berasal dari salah satu goa di payakumbuh yang berada di lembah harau ini. Di goa ini bersemayam pendekar yang menguasai silat harimau dan setelah melakukan pertapaan panjang pendekar tadi kemudian berubah menjadi harimau jadi-jadian. Inyiak ini kemudian menguasai daerah harau, bahkan sampai menguasai daerah gunung merapi dan gunung singgalang.

Mengenai inyiak ini, teringat sepenggal kisah yang penulis alami sendiri tentang bagaimana ketakutan di bayangi-bayangi inyiak ini.
Memang, dalam mitos nya, jika seseorang sudah di incar oleh inyiak. Dia bisa dibawa ke kaum bunian (kaum halus).

Dulu saya adalah orang yang tidak pernah percaya hal yang diluar nalar, jika belum melihat dengan mata kepala sendiri, jadi pada waktu 2004 an saya melakukan pendakian ke gunung singgalang. Seperti biasa kami kumpul dulu di sebuah pasar, di pasar itu saya memberi nasehat sebelum melakukan pendakian, apa saja yang boleh dilakukan dan pantangan nya.

Setelah memberikan sedikit informasi, kami mulai melakukan pendakian setelah sholat isya, tujuan pertama kami adalah berjalan untuk mencapai kamp pertama pada tower salah satu stasiun tv indonesia, untuk tempat istirahat sementara melepas lelah, selama perjalanan semua saling bercanda untuk menghilangkan penat berjalan.

Di tengah perjalanan dekat kebun tebu sehabis tempat pembuatan gula enau (saka) , teman kami berpapasan dengan seorang nenek, dengan tidak sengaja mereka berceletuk ke salah seorang teman “ ondeh, ndak ba banda nyo” (artinya: ga ada belahan di atas mulut), si nenek itu menatap tajam ke anggota kami dan kemudian berkata “elok-elok se dijalan yo nak” (artinya : hati-hati dijalan nak), dan perjalanan pun dilanjutkan.

Setelah berjalan sekitar 2 - 3 jam, rombongan baru sampai ke camp di tower stasiun televisi. Dan kami berhenti sambil memasak air.


Setelah beristirahat sebentar, jam 11 an rombongan kami kembali bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan, dari camp pertama kami ini kami memprediksikan pencapaian ke telaga adalah jam 6 pagian. Dan perjalanan pun dilanjutkan kembali.

Saat akan memasuki pintu rimba, tidak lupa saya memberi wanti-wanti lagi kepada anggota rombongan, untuk anggota cewek, saya menanyakan apakah mereka tidak sedang tidak datang bulan, klo seandainya ada, maka anggota itu tidak saya perkenankan ikut, dan menunggu di camp.
Mereka menjawab tidak ada permasalahan. Dan kamipun berdoa sebelum memasuki pintu rimba.

Setelah berdoa, kami pun melakukan perjalanan menyusuri lebatnya hutan untuk mencapai telaga.
perjalanan berjalan seperti biasanya agar tidak terlalu lelah, kami berhenti pada camp sambil minum dan mengisi air.
Setelah memasuki camp terakhir kami melihat jam sudah menunjukan jam 2, malam itu terasa sunyi sekali mengiringi langkah kai kami selama perjalanan. Sesekali saya melihat anggota rombongan ke belakang, apakah mereka tidak tertinggal jauh dari rombongan.
secara tidak sadar saya melihat ke arah cahaya senter di rimbunan ada yg bergerak. Awal mula nya saya tidak menghiraukan, tetapi selama perjalanan saya selalu merasa ada yang mengikuti, dan itu membuat saya khawatir tentang inyiak di gunung ini.
saya pun ingat tentang kejadian dibawah tadi yang secara tidak sengaja ada celetukan tentang nenek yang berpapasan di jalan tadi, saya pun mulai mengubah formasi agar cewek dalam rombongan di tengah iringan, dan saya pun mulai memberi isyarat agar perjalanan dipercepat dan tidak ada istirahat lagi.
ke khawatiran saya memang beralasan, karena sudah umum, jika ada yang mengikuti di hutan, maka jika bukan harimau, kalau tidak berarti inyiak.

Rombongan pun berjalan cepat, sambil berjalan saya melempar ikan bilih yang selalu saya bawa di setiap perjalanan. Dan ketika mencapai cadas batu, saya melihat sudah tidak ada yang mengikuti.
rombongan pun saya instruksikan memasang tenda di cadas tersebut, sambil menyalakan api unggun, saya melihat di sekeliling memeriksa keadaan, apa yg saya khawatirkan sepertinya terjadi, ada kilatan bola dari arah semak-semak. Dan saya segera menyuruh rombongan masuk ke dalam satu tenda tanpa saya ceritakan.
Di dalam tenda, kami melihat bayangan seperti harimau besar dari biasan cahaya api unggun yang kemudian mati dengan sendiri nya.
Tenda kami seperti ada yang mengelilingi dan sekali-kali ada yang seolah menggesekan badan di tepi tenda itu.
Saya segera membisikan ke teman yang berceletuk sewaktu di perjalanan tadi, saya menyuruh dia minta maaf, dan temen saya pun menurut, dia berkata-kata dari dalam tenda untuk memohon maaf jika ada yang tersinggung dengan omongan atau celetukan nya di hutan tadi.

Memang benar, tidak berapa lama setelah itu, suasana di luar tenang dan sepi lagi. Tetapi kami tidak ada yang berani diluar karena masih gelap, dan akhirnya saya ceritakan bahwa tadi itu kemungkinan inyiak, karena sewaktu dalam perjalanan tadi bertemu dengan nenek-nenek yang tidak memiliki “banda” di bibir nya. Dan kemudian teman saya pun berceletuk seolah mengejek.

Memang, harimau memiliki sifat tindak balasan yang sangat tinggi , terlebih kepada orang yang dibencinya, maka tidak heran karena celetukan itu, rombongan mulai di ikuti selama perjalanan.

Memang tidak ada hal yang berbahaya, tetapi perjalanan ini mengingatkan saya kepada sepotong syair tentang perjanjian inyiak.

“tatkalo janji ka dikarang, baso kito indak buliah nyanyo-banyanyo.

Utang bareh baia jo bareh, utang darah baia jo darah”

Syair di atas itu bermakna di kala janji akan dibuat bahwa kita tidak boleh saling menganiaya. Utang beras dibayar beras, utang darah dibayar darah.

Comments

Popular posts from this blog

Hutan Hoia Baciu, Salah Satu Hutan Paling Mengerikan di Dunia

6 Kisah Unik Saksi Hidup Nyi Roro Kidul

Foto Bugil Artis Korea Shu Qi Tanpa Sensor Bocor Di Internet