Hamil 5 Bulan Nekat Melacur Demi Susu Anak



Ini adalah kisah Ruri, wanita penjaja cinta di kawasan lokalisasi Dolly. Ruri dulu pernah menjadi Perempuan Seks Komersil (PSK-red), itu sebelum dia menikah. Tapi setelah menikah dan mempunyai anak, Ruri kembali ke dunia hitamnya, dengan tetap menjadi PSK. Sembari mencari sesuap nasi untuk anaknya yang balita, Ruri juga harus membawa jabang bayi dalam kandungannya yang masih berusia 5 bulan. Yah, Ruri hamil. Dalam keadaan hamil ia harus melayani pria-pria hidung belang. Dan inilah kisahnya.

Lokalisasi Dolly, Sabtu, seperti biasa tampak ramai. Para pengunjung yang datang sekedar mencari kenikmatan sesaat. Setelah itu mereka pamit, mencium kening perempuan idamannya, meninggalkan uang, dan akan kembali lagi setelah ada uang atau setelah hasrat muncul.

Malam itu, meski suasana Dolly ramai, namun hawa dingin cukup membuat badan menggigil. Namun hal itu tidak masalah, sebab tujuan pengunjung datang kemari (Dolly-red) untuk mencari kehangatan.

Mereka tinggal masuk ke salah satu wisma, pilih gadis, jika cocok langsung ngamar. Beres!

Malam ini siapa meniduri siapa?

Banyak orang, puluhan hingga ratusan. Semua orang sedang bingung mencari pasangannya. Sebaliknya, para wanita yang berjejer di etalase justru sedang menanti sang kumbang yang bersedia membagi sedikit rejeki. Timbal baliknya, ya itu tadi, ngamar.

Namun demikian, dari sekian banyak wisma, ada satu wisma yang cukup menarik perhatian. Wisma itu lokasinya berada di tengah-tengah. Sebut saja wisma B. Katanya, pemiliknya orang Makasar.

Banyak wanita, cantik-cantik, bahenol, dan seksi. Mereka silih berganti keluar masuk. Usai dari dalam, mereka kembali ke kursi sambil membenahi pakaiannya yang compang camping, bermake up, dan menatap tajam ke arah pengunjung.

Dari semua wanita di sana, yang menjadi perhatian SIAGA, ada satu wanita yang tidak kelihatan bahagia. Raut wajahnya tampak murung, Wanita itu tidak sesumringah teman-temannya. Apakah karena dia jarang dipilih?

Tidak juga!

Malam ini, dia sudah mendapat tamu pria sedikitnya lima orang. Itu sudah cukup. Lalu apa masalahnya?

Sekilas diperhatikan penampilan wanita itu biasa-biasa saja. Wajahnya oval. Kulitnya putih mulus. Pasti ia sering melakukan perawatan.

Malam itu memang hanya dia yang berbeda. Dia mengenakan rok mini ketat, tapi…eit…perutnya itu, dia buncit. Apakah dia gemuk? Ah, tidak.

Seorang mucikari mendekati SIAGA, Berbisiklah dia: “Ssst…dia sedang hamil!!??”

“Hamil, ya ampun! Berapa bulan?”

“Tiga bulan,” jawab sang mucikari.

Hamil tiga bulan, dan ia masih menerima tamu. Tempat apa ini? Tidak kasihankah kalian mempekerjakan wanita hamil? Di mana rasa kemanusiaan kalian?

Dinikahi Pelanggan

Karena penasaran, SIAGA kemudian memilih wanita tersebut. “Ya sudah, dia saja.”

“Rp 75 ribu,” kata sang mucikari.

Tak lama wanita itu menuju kamar yang sudah kosong. Kamar itu sangat mungil. Ukurannya kecil. 6×6 meter. Saking kecilnya, baunya pun tidak sedap. Mungkin itu bau bekas-bekas keringat yang tidak bisa keluar, sehingga menjadi pengap dan lembab.

Penerangan di kamar hanya menggunakan lampu dop berwarna merah. Lumayan gelap. Hampir semua kamar di Dolly rata-rata seperti itu. Bahkan di wisma bagian depan juga menggunakan lampu yang warna-warni. Mungkin untuk membedakan antara lokalisasi dan asli rumahan.

Tak lama datanglah wanita yang tadi. Usianya kira-kira 23 tahun. Masih belia. Kita panggil saja Ruri.

Ruri, ia mengenalkan diri. Ia bilang berasal dari Sidoarjo. Setelah itu, ia lebih banyak diam. Rautnya belum berubah. Tetap murung. Tanpa dikomando, ia kemudian melepas pakaiannya. Mungkin memang sudah tugasnya menyenangkan pelanggan. Eit…tunggu dulu! Bukan seperti ini ceritanya.

Ruri, kata SIAGA, duduk saja. Malam ini, tidak ada ‘siapa meniduri siapa’. Malam ini, kau akan bercerita mengenai kehamilanmu. Malam ini, kau akan bercerita bagaimana bisa berada di tempat terkutuk ini?

Dengan tersedua-sedu Ruri mulai menuturkan kisah hidupnya:

Aku baru beberapa bulan di sini, sejak usia kehamilanku dua bulan. Aku sekarang mengandung lima bulan. Lihat saja perutku, besar bukan? Ini adalah anak keduaku. Semenjak suamiku pergi merantau, dia sampai sekarang tidak ada kabarnya.

Dulu, sebelum pergi, sebut saja suamiku Rahman, berjanji padaku akan mengirimkan uang untuk si kecil. Tapi nyatanya, sampai sekarang dia tidak ada kabar sama sekali. Kukira dia sudah mati, dimakan macan, atau ditabrak kereta, atau dibunuh orang di Jakarta sana.

Huuu….huuu…huuu…!!???!! (Ruri menangis)

Sebelum ini profesiku memang pelacur. Tapi setelah mengenal Rahman, aku sudah memutuskan untuk tidak bekerja lagi. Aku tahu Rahman adalah pilihanku. Dia orangnya baik. Sangat pengertian. Memang, awalnya dia adalah pelanggan tetapku. Ceritanya sudah hampir setahun aku berada di tempat ini, dari situ aku mengenal puluhan lelaki hidung belang. Tapi tidak Rahman. Lelaki itu sangat berbeda. Cara dia memperlakukanku tidak seperti umumnya laki-laki.

Yang kusuka dari Rahman, dia tidak pernah menganggapku sebagai pelacur. Dia melihatku dengan cara yang berbeda. Baginya, aku adalah seorang perempuan biasa. Tidak lebih.

Selama tiga bulan kami menjalin hubungan, tentu saja dia sebagai pelanggan dan aku penjaja cinta. Hingga suatu hari Rahman tiba-tiba mengatakan keinginannya untuk menikahiku. Begini katanya:

“Rur, maukah kamu menikah denganku?”

“Apa, Mas?”

“Menikah,” ia mengulangi.

“Apa aku tidak salah dengar. Aku kan kerja begini, apakah nanti keluargamu akan menerimaku,” jawabku.

“Soal itu tidak usah kamu pikirin, biar aku yang mengatasinya. Yang jelas apakah kamu mau menikah?” Rahman bertanya lagi.

“Mau, Mas!!??” jawabku tanpa ragu.

Sejak itu aku pun memutuskan untuk tidak bekerja lagi. Esoknya, aku meminta ijin ke pemilik wisma bahwa aku akan menikah. Beruntung Pak S (pemilik wisma-red) orangnya sangat pengertian. Melihat anak buahnya menikah, dia tidak lantas menahan atau marah-marah. Memang tidak seperti wisma lainnya. Di wisma ini, kami diperlakukan dengan baik. Jika diantara kami ingin keluar, Pak S malah mempersilahkan kami. Bahkan dia mendoakanku supaya hidup bahagia.

Singkat cerita, aku pun menikah dengan Rahman. Betapa bahagianya hidup kami saat itu. Apalagi, tak lama setelah itu aku diketahui hamil. Kami sangat bahagia. Apalagi Rahman. Sudah lama dia mengidamkan datangnya seorang anak.

Hari berganti hari, sudah sembilan bulan berjalan. Ini detik-detik kelahiran si jabang bayi. Namun pada saat itu, masalah mulai muncul. Yah, suamiku mendapat masalah di kerjaannya. Dia kena PHK massal. Perusahaannya bangkrut. Dia hanya mendapat pesongan satu kali gaji.

Kontan, sejak itu rumah tangga kami menjadi tidak menentu. Rahman kebingungan mencari biaya untuk persiapan proses kelahiran. Dia pontang-panting kesana kemari. Sementara aku, yah, aku hanya bisa berdiam diri di rumah. Pasca keluar dari wisma, aku sudah menjadi pengangguran. Semua biaya hidup ditanggung suamiku.

Menjelang detik-detik kelahiran tiba, suamiku tak kunjung punya uang untuk membiayai proses kelahiran. Akhirnya jalan satu-satunya menjual motor Honda Supra keluaran tahun 97. Itu adalah motor satu-satunya yang kami punya.

Tak lama setelah itu si jabang bayi keluar. Kehadirannya cukup membuat suasana yang tadinya panas menjadi tenang. Kami menamainya Rama. Dia adalah seorang bocah yang tampan. Kami bersyukur dikaruniai Rama. Hari-hari kami serasa lengkap dengan kehadirannya.

Tak terasa usia Rama sudah menginjak tiga bulan. Kulihat dia sudah bisa tengkurap. Tawanya itu, seolah membuat gunung-gunung hancur. Tak sanggup kami mengungkapkan kebahagiaan kami.

Cuma sayang, kebahagiaan yang kami jalani mulai ditimpa masalah. Memasuki usia lima bulan Rama, masalah ekonomi mulai menggerus. Sejak itu Rama sudah tidak menyusui ASI. Itu karena ASIku keluarnya sedikit. Kami pun terpaksa menggunakan susu kaleng.

Ini yang menjadi masalah. Dengan tidak bekerjanya suamiku, lamat-lamat kurasakan biaya hidup kami semakin besar. Itu hanya susu Rama, belum termasuk biaya makan kami sehari-hari.

Suamiku kebingungan. Kemana-mana dia mencari pekerjaan tapi tak kunjung dapat. Sementara di rumah ada Rama yang menunggu penghasilan ayahnya. Dalam keadaan terdesak, akhirnya Rama memutuskan untuk pergi merantau ke Jakarta. Di sana dia ditawari pekerjaan oleh temannya di perusahaan roti. Dia bilang gajinya lumayan besar.

Dalam batin aku sebenarnya enggan melepas kepergian suamiku, tapi mau dikata apa, di rumah kami ibarat anak yang kehilangan induknya. Untuk tetap bertahan hidup, kami butuh makan. Akhirnya kuikhlaskan kepergian suamiku merantau ke Jakarta. Sebelum pergi suamiku berjanji akan kembali setiap bulan sekali. Kalau pun tidak kembali karena pekerjaan yang menumpuk, dia tetap akan mengirim uang bulanan.

Aku mengiyakan saja suamiku. Kubilang padanya begini, “Hati-hati di Jakarta ya Mas. Doaku senantiasa untukmu. Jangan lupakan kami!”

“Aku pergi dulu ya, Dik!?” kata Rahman dengan suara serak karena tak kuasa meninggalkanku.

Kembali Melacur

Terus terang kepergian suamiku cukup membuat batinku tersiksa. Jika biasanya di rumah bersama suami dan anak, kini aku harus mengurus sendiri segala keperluan Rama, dari mulai mencuci bajunya, memandikannya, meninabobokan, hingga menyusui. Tapi semua itu kulakukan dengan ikhlas. Aku bangga menjadi ibu, walau suami tidak ada.

Sebulan berlalu. Tak ada kabar dari suamiku. Berkali-kali kucoba menghubungi ponselnya juga tidak aktif. Aku mulai diserang syndrome kepanikan. Berkali-kali kulihat Rama merengek karena lapar.

Kuberanikan meminjam uang dari tetangga sekitar untuk membeli susu Rama. Kepada mereka aku bilang akan mengembalikan dalam waktu dekat, itu pun setelah ada kiriman uang dari suami. Rupanya hari yang ditunggu tak kunjung datang. Sudah tiga bulan suamiku pergi tanpa kabar. Aku semakin cemas. Sementara banyak orang menagih utang ke rumah. Terpaksa, mereka yang datang kubayar dengan barang-barang yang ada di rumah, seperti televisi, radio, bahkan pakaian.

Belakangan kuketahui bahwa diriku tengah berbadan dua. Yah, aku hamil lagi. Hamilku bukan dengan orang lain. Aku hamil dengan suamiku. Tiga bulan sebelum kepergian suamiku, kami memang sempat berhubungan suami istri. Kalau orang Jawa bilang, aku hamil keri (belakangan-red).

Satu bulan kehamilanku berjalan, memang tidak terasa. Namun menginjak tiga bulan, perutku semakin membesar. Aku tak bisa menyembunyikannya. Sementara banyak tetanggaku yang mulai berpikiran negatif, bahwa aku hamil dengan laki-laki lain, bahwa aku tukang selingkuh–mengingat statusku yang notabene mantan pelacur.

Demi Allah, aku bukan seperti yang mereka katakan. Aku bukan tukang selingkuh. Aku bukan perempuan gampangan. Aku masih istri sah Rahman. Hanya saja hal itu tetap tidak membuatku nyaman. Apalagi mertuaku nyata-nyata menudingku telah berselingkuh. Jujur, aku tak bisa berkata apa-apa.

Dalam hal ini tak ada orang yang membantuku. Jangankan mertua, mereka membantu mengurus anakku saja tidak mau. Lantas kepada siapa aku mengadu. Sementara kulihat Rama berkali-kali masuk rumah sakit karena kurang gizi. Jujur, aku merasa kasihan dengan Rama.

Seandainya aku bisa membalikkan keadaan, aku pasti akan mengatakan kepada Rama agar tetap berada di dalam kandungan, dan jangan keluar sampai keadaan benar-benar aman. Tapi tidak bisa. Allah tetap menyuruhnya keluar, supaya dapat hidup bersamaku.

Dengan keadaan yang semakin tidak menentu, aku mulai didera frustasi. Hatiku galau. Kalau mau, aku ingin menggugurkan janin dalam kandunganku agar tidak merepotkanku. Cuma, aku tidak terlalu berani melakukan itu.

Jujur, aku sangat benci dengan kehamilanku yang kedua itu. Aku ingin dia mati dalam kandungan. Aku sangat benci dengan dia karena tidak seorang pun yang menyertaiku. Tidak seperti Rama di mana saat itu ada Rahman yang menemani. Sekarang, aku justru hidup dalam ketidakpastian. Kehamilan ini, telah membuat harga diriku hilang. Aku dituduh sebagai tukang selingkuh.

Nak, betapa malang nasib ibumu ini, kataku setiap kali melihat perutku di cermin. Apakah kau ingin hidup, atau barangkali kau mau pergi ke surga? Kenapa kau datang pada waktu yang tidak tepat, mungkinkah kau adalah karma untukku?

Berkali-kali aku berbicara sendiri, berbicara pada janinku. Pada saat itulah kuputuskan untuk tetap membiarkan janin itu hidup, hidup dalam perutku apa adanya. Dan aku…ya…bagaimana mengatakannya, aku akan kembali ke tempat terkutuk itu. Menjadi pelacur. Melacurkan diri. Dalam keadaan hamil pula.

“Nak,” berkata aku pada janinku, “jika memang ini takdirku, maka kau harus ikut ibu kemana pun ibu pergi. Biarlah Tuhan menjadi saksi atas kekhilafanku, semua ini kulakukan agar kau dan Rama dapat hidup,” ujarku.

Dan mulailah aku kembali ke pekerjaanku semula. Melacur!!!???

Saat itu Rama kubawa ke Surabaya. Saat bertemu Pak S, dan kukatakan keinginanku untuk bekerja lagi, dia awalnya menolak. Tapi setelah kujelaskan bahwa aku dan Rama butuh makan, dia akhirnya mengerti dengan keadaanku. Tentunya dengan resiko: aku yang menanggung segala resikonya.

Kepada Pak S aku langsung meminjam uang untuk biaya kontrak rumah selama sebulan dan biaya Rama. Dia menyetujui.

Saat itu aku mengontrak rumah di sekitar Dolly. Jika siang aku mengurus Rama, jika malam Rama kutitipkan ke baby sitter.

Sedang untuk janinku, biarlah dia hidup apa adanya di perutku.

“Kan, ibu sudah berjanji akan mengajakmu kemana ibu pergi, walau itu terasa pahit bagi ibu dan kamu,” kataku pada janin dalam rahimku.

Selama bekerja, aku mempunyai perasaan yang damai. Entah darimana datangnya, mungkin karena suasana yang membuatku begitu. Di sini (Dolly-red) aku seperti memiliki keluarga.

Banyak teman-teman seprofesi yang membantu dan menjagaku. Mereka sangat perhatian kepadaku. Bahkan sesekali mereka berkunjung ke rumah. Di sini, aku bagai manusia. Di luar sana, aku justru dianggap sampah.

Dan inilah aku, seorang pelacur yang membawa janin seberat 1 kilo di rahim. Aku memang benci dengan kehamilanku (keadaan-red), jadi kubiarkan tubuhku digilir pria-pria hidung belang. Tapi aku melakukan ini bukan untuk gaya-gayaan, bukan untuk dikasihani.

Aku begini karena keadaan. Jujur, setiap kali melayani tamu, aku selalu berdoa agar janin dalam kandunganku baik-baik saja. Dan kelak, jika lahir dia akan lahir dengan normal layaknya Rama.

Aku juga senantiasa berdoa kepada Tuhan agar dimaafkan segala dosa-dosaku dan supaya janin dalam rahimku yang kini berusia 5 bulan bisa selamat.nov

Comments

Popular posts from this blog

Hutan Hoia Baciu, Salah Satu Hutan Paling Mengerikan di Dunia

6 Kisah Unik Saksi Hidup Nyi Roro Kidul