Cinta Mereka Ke Indonesia Tapi Tak Berbalas


Warga transmigran eks Timor Leste adalah warga yang setia pada Indonesia.

Kemarau masih mencekat "tenggorokan" Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), di Minggu (7/10) sore. Pohon-pohon berdiri tegak tanpa dedaunan hijau di tangkainya.

SH meluncur dengan sepeda motor sewaan milik tukang ojek menuju Desa Manusak, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang. Butuh satu jam perjalanan untuk menempuh jarak dari Kupang ke Kupang Timur.

Infrastruktur jalan masih buruk dan tebalnya debu menghalangi pandangan mata ketika melewati jalanan itu. Sesampainya di Desa Manusak, kebetulan rumah pertama yang dikunjungi adalah milik Afridus Semenes (40), orang yang dipercaya menjadi Ketua RT di lokasi transmigrasi warga eks Timor Leste.

Di dalam rumahnya, tidak ada meja, lemari, atau hiasan seperti rumah kebanyakan. Hanya gambar Yesus Kristus yang tertempel di dinding kayu, menandakan keyakinan agama yang dianut oleh sang pemilik rumah.

"Kami di sini warga eks Timor Leste. Yah, beginilah keadaan kami," ujar Afridus mengawali perbincangan di pelataran kediamannya yang sederhana.

Diakui bahwa dirinya dan masyarakat sekitarnya lahir di tanah Timor Leste. Menjadi warga Indonesia yang saha (jelas), tapi kekalahan politik di tahun 1999 membuat mereka diberi dua pilihan: otonomi atau kemerdekaan. "Kami memilih Indonesia," tutur pria bertubuh kekar itu.

"Ternyata pemerintah tidak memperhatikan kami. Lihatlah kondisi di sini, sejak 1999 kami datang tidak pernah diperhatikan dengan serius. Ini cuma membuat kami telantar dan merasa dianaktirikan. Kami tidak diberi tanah, tidak dibukakan mata pencarian. Kami harus berjuang sendiri melawan kelaparan," sambungnya. Keningnya tampak semakin berkerut.

Afridus berujar sering mendengar ada bantuan untuk rakyat di lokasi transmigrasi warga eks Timor Leste itu. Namun masyarakat setempat tidak pernah merasakan realisasinya sampai hari ini.

Malah, ia pernah mendengar ada bantuan Rp 15 miliar pada 2010 yang diperjuangkan oleh LSM Kopit (Korban Politik Timor-Timor) yang sudah diterima oleh gubernur NTT, namun sampai sekarang rakyat juga tidak pernah mendapatkan uang itu. Kemudian rakyat melancarkan aksi demonstrasi menuntut hak-hak tersebut, tetapi hasilnya tetap nihil.

Malah, menurut Afridus, ia sempat mendengar berita bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan pada 2013 akan menyelesaikan permasalahan eks Timor Leste. "Kami tidak tahu, biasanya pemerintah Indonesia hari ini bicara besok lupa," tegasnya, tanpa ekspresi.

Berkebun Seadanya

Mata pencarian masyarakat seadanya saja. Ada 120 keluarga di area tersebut dan hampir semuanya petani, hanya satu anggota TNI dan satu pegawai negeri sipil (PNS).

Penghidupan tersebut diperoleh dari hasil berkebun, tapi kebun itu bukan milik mereka sendiri melainkan kepunyaan penduduk lokal. Penghasilannya dibagi bertiga antara yang punya kebun, pemilik traktor, dan pekerjanya.



Afridus sendiri memperoleh penghasilan sekitar Rp 500.000 per tahun. Tentu saja biaya ini harus dicukup-cukupkan untuk bayar listrik dan makan seadanya untuk keseharian keluarga mereka. Tak ada uang lebih yang bisa ditabung. Hanya saja, bagi Afridus masih ada untungnya karena pendidikan untuk sekolah anak-anaknya gratis meskipun masih ada juga yang harus dibayar sedikit-sedikit.

"Anak-anak kami sekolah, kami tidak bisa mengharapkan pemerintah untuk sepenuhnya memperhatikan pendidikan anak-anak kami. Kami angkat tangan kalau harus biayai kuliah," sambungnya sambil menatap hampa ke depan. "Kita mencintai Tanah Air Indonesia, namun tanah ini pun harus kami beli," ia menambahkan.

Afridus menjelaskan, warga di kawasan kamp transmigran tersebut membeli tanah dari masyarakat lokal pada 2006 seluas 40 x 200 meter seharga Rp 20 juta.

Rumah-rumah sudah beratapkan seng dengan dinding batu dan kayu. Namun semua itu diperoleh dengan susah payah daripada kelaparan di kamp transmigran eks Timor Leste sebelumnya yang terletak di Desa Tua Pukan.

Menurut istilah Afridus, daripada mati kelaparan di Tua Pukan, sebagian warga memilih pindah ke Desa Manusak yang jarak tempuhnya sekitar 15 menit jika naik sepeda motor.

"Saudara-saudara kami masih ada di kamp Tua Pukan sejak 1999. Masih banyak rumah daun di sana, padahal satu rumah ditempati 1-2 keluarga. Malah kalau sedang hujan air nembus sehingga mereka tarik (pasang-red) terpal. Mereka tidak bisa beli tanah karena tak punya uang," lanjutnya. Persoalan masih bertambah karena oleh penduduk lokal mereka disebut sebagai pendatang sehingga diperlakukan seperti orang asing.

Afridus juga menjelaskan bahwa Menteri Menko Perekonomian Hatta Rajasa pernah berkunjung ke Tua Pukan. "Beliau sampai menangis. Namun air matanya tidak sampai darah sehingga tidak ada realisasi bantuan dalam bentuk apa pun," sambung Afridus. Rasa kecewa terbersit dari suaranya yang tersendat.

Lelaki ini mengakui bahwa ia memilih Indonesia, bukan Timor Leste, karena rasa cintanya pada Sang Saka Merah Putih, Pancasila, Burung Garuda, dan Indonesia. Tetapi akhirnya ia mengakui bahwa cintanya itu tidak dianggap, hanya ditelantarkan.

Kembali Afridus bercerita tentang masa lalunya di mana sebenarnya ia dilahirkan di Tanah Timor pada 1972, kemudian dibaptis di Gereja Katolik dengan nama Afridus Semenes. Sesudah dewasa ia kemudian diberi senjata oleh pemerintah, kemudian disebut milisi. Senjata yang tentu digunakan untuk berperang yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Kristiani yang dianutnya sejak lahir, yaitu damai.

Pada saat itu ada dua opsi untuk memilih antara otonomi atau kemerdekaan. Karena Timor Timur memilih merdeka kemudian berubah nama menjadi Timor Leste, jadilah Afridus menjadi pengungsi di tanah airnya sendiri.

Padahal ketika itu ia tidak memiliki harta benda apa pun. "Geser ke sana orang punya tanah, geser ke sini orang punya tanah, sehingga kami tidak bisa berbuat apa-apa di negeri ini," lanjut Afridus.

Segala keluh dan harapan seolah tak ada akhirnya. Meski ia sadar bahwa Tuhan tidak mungkin turun langsung dari langit untuk menjawab asanya. Maka harapan kembali dilontarkan pada pemerintah.

Tapi, nyatanya Afridus bilang, "Itu kalau mereka (pemerintah-red) masih ingat bahwa kami adalah bagian dari mereka, jika mereka masih sayang pada kami. Kami sudah menderita 13 tahun, bantulah kami. Tolong... tolong bantu kami..." Sayang, cerita ini harus berakhir. Kisah pilu Afridus tentang cintanya pada Indonesia. Berakhir karena matahari sudah menenggelamkan diri di Desa Manusak.


Comments

Popular posts from this blog

18+:Foto Otopsi Korban Pembunuhan dan Perkosaan

Hutan Hoia Baciu, Salah Satu Hutan Paling Mengerikan di Dunia